Nenek Renta Tumpuan Keluarga

Oleh : Zakiyah Rizki Sihombing

“Sudah lebih 16 tahun Nenek gila menjaga orang gila” ujar Nek Dasniar dengan wajah yang menahan tangis.



Menjelang senja, cuaca kota Medan terlihat mendung. Awan gelap mulai menggelayut, Sepertinya hujan akan turun mengguyur kota. Orang-orang di sekitar lapangan Merdeka kota Medan tampak berpulangan. Menyetir mobil, menggas sepeda motor ataupun mengayuh sepeda dengan segera akibat cuaca yang tak bersahabat. Kendati demikian, masih terlihat sesosok wanita tua di depan pintu masuk lapangan Merdeka Walk yang masih belum bergegas.

Wanita tua itu terlihat mengenakan jilbab berwarna biru tua yang sudah lusuh, seragam berwarna coklat tua dan kaus kaki tebal yang membungkus kakinya. Ia tampak keletihan melayani pembeli yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Tangan yang dipenuhi kerutan itu pun tak henti-hentinya menyusun jualan yang ia jajakan di depan pintu masuk lapangan Merdeka Walk kota Medan. Hanya ada minuman botol, permen dan rokok yang dapat ia bawa dari rumahnya untuk dijual.


Beliau adalah Nek Dasniar. Selepas ashar hingga malam setiap harinya Ia habiskan waktu bersama putri bungsunya berjualan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak bungsu serta seorang cucunya. Tak ada tawa yang tersungging dari bibirnya, sebab meskipun berdua Ia tetaplah dalam kesendirian.

Sambil bercerita kepedihan sesekali Ia melihat anak bungsunya, Lia. Sedang duduk terpekur menatap orang-orang yang lalu lalang di jalanan. Perempuan berusia 32 tahun yang ada disampingnya adalah satu-satunya anak yang masih bersamanya, gila dan tidak tau apa-apa.

“Jangankan membantu, berbicara pun dia sudah tak bisa. Tapi bagaimanapun dia adalah anak, Nenek harus menjaganya” kata Nek Dasniar lagi menahan pilu yang menyesak di dadanya.

Hanya dengan sepetak kamar di daerah Kampung Baru, Ia berlindung dari terik dan hujan, bersama dengan Lia dan cucu satu-satunya. Wajah yang kian mengeriput, badan yang semakin menyusut karena gizi yang tak seberapa Ia dapat rasakan. Dengan alasan uang hasil jualan sehari-harinya harus dibagi untuk pengobatan Lia dan biaya sekolah cucunya yang masih duduk si bangku SMA.
Tertanam dalam ingatan Nek Dasniar ketika Lia masih sehat 16 tahun lalu. Kecantikan yang dimiliki anaknya mendatangkan keberuntungan. 

“Dia dulu diterima kerja di kantor kebun kelapa sawit, karena orang suka sama dia, gajinya juga lumayan” 

Namun, takdir berkata lain. Tuhan mempertemukan Lia dengan seorang pria yang kemudian menikahinya. Di usia kehamilannya yang masih terbilang muda, sering terjadi perkelahian antara Lia dan suaminya. Lia dipukuli dan dianiaya sampai akhirnya sekarang dia gila dan tidak tahu apa-apa. Orang-orang sangat prihatin pada keadaannya, begitu pun dengan orang-orang di kantornya. Meski gila dan tidak bisa bekerja lagi, perusahaan masih memberinya uang pengobatan selama 3 tahun lamanya.
Beberapa kali orang-orang yang di sekitar lapangan Merdeka berdatangan, untuk sekedar mengajak Nek Dasniar bercerita atau membeli jualannya. Banyak orang yang mengenalnya, sebab tiga puluh tahun memang bukan waktu yang singkat untuk mengenal sosoknya. Terkadang Ia begitu bersemangat ketika tanpa diduga-duga ada yang dengan suka rela dermawan padanya.

“Anak Nenek ada lima. Satu meninggal, satu di Jakarta, satu di Malaysia, satu di Medan ini dan satu lagi dia” kata Nek Dasniar sambil menyapu pundak anak bungsunya.

Semakin pedih lagi hidup Nek Dasniar. Anak-anak yang ia memiliki semua melupakannya, tak satu pun yang perduli akan derita dan tangis yang telah mengering dimakan waktu. Meskipun memiliki beberapa anak tapi tak satupun yang mengingatnya. Untuk sekedar menjenguknya, memberi kabar atau bahkan memberi uang. Tak ada. Semua hilang dengan kebahagiaan masing-masing, lupa pada sosok tua yang sudah melahirkan dan membesarkan.
“Nenek itu adalah nenek yang kuat dan selalu bersyukur dengan nikmat Allah” komentar Sari yang merupakan pengunjung mingguan di lapangan Merdeka

Di tengah usianya yang hampir satu abad tersebut, ia masih terlihat kuat mencari nafkah. Tetapi keuntungan yang Ia dapatkan setiap harinya tentu tak cukup untuk membiayai hidup. Syukurnya Ia tak digusur dari lapangan Merdeka meskipun terkadang Ia harus mendapat lecehan preman pasar yang mencoba mengusiknya.

“Nenek hanya minta semoga Allah kasi nenek kesehatan untuk bisa bekerja, karena kalau nenek meninggal siapa yang akan merawat mereka” katanya lagi dengan sesengguk yang terlihat disembunyikan.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, gelap mulai menemani malam dan sang awan pun dengan seksama menjadi penguasa langit. Nek Dasniar, begitulah kehidupannya, banyak pilihan untuk menjadi lebih baik tetapi banyak pula rintangan yang menghalanginya

NB : Terima kasih kepada Mdouble yang udah ngebantu penulis dalam liputan. Tanpa kalian, hari itu mungkin tak ada. Semoga kita dapat mengambil sisi positif dari liputan hari itu. Terima kasih Mdouble (Maulida, Meilisa)

Kekecean kami waktu itu

Komentar

Postingan Populer