Kau Untukku

Oleh : Zakiyah Rizki Sihombing


      Tut…tut..tut….kereta api mulai melaju menuju kota dimana aku pernah menghabiskan waktuku dulu. Pulang kampung adalah hal yang paling ditunggu-tunggu oleh anak kos sepertiku, belum lagi membayangkan makanan lezat yang dimasak mama di rumah, betapa nikmatnya itu. Jarak kos dengan kampung halamanku hanya lima jam, tapi bukan berarti aku bisa pulang seminggu sekali, padatnya jadwal kuliah dan kegiatan organisasi menjadi penghambat besar untuk kembali. Ah, aku jadi teringat “Siapa yang akan menjemputku di stasiun?”. Kuraih handphoneku yang sedari tadi mengendap dalam tas lalu mulai mengetik satu kalimat yang akan kukuirim ke papa.

“Papa hari ini sibuk? Kalau ada waktu jeput Thauma di stasiun ya” 

“Papa sibuk nak, tapi papa udah suruh Eza buat jemput kamu, jam setengah 5 kan?”

Ah lagi-lagi Papa seperti ini, bisa gak sih sekali aja bukan Eza yang jemput. Menyebalkan.

***

      Aku masih mengatup mulutku, sudah hampir dari lima belas menit yang lalu aku memilih diam, meskipun Eza telah melemparkan beberapa pertanyaan selama di perjalanan menuju rumah. Aku menolehkan kepala pada rumput-rumput hijau di pinggir jalan, sambil sesekali mengeraskan suara music di mobil apabila Eza mencoba menurunkan volume suaranya karena ingin berbicara padaku.

“Kamu seperti anak-anak ya” gerutunya, sambil sedikit tertawa

Aku tak menoleh, pura-pura tak mendengar. Ini perjalanan pulang kampung yang paling menyebalkan selama lima tahun terakhir. 

      Sudah hampir sampai depan rumah, aku mulai bergegas menyusun ponsel dan tab ku.Tiba-tiba mobil yang kunaiki terhenti, Eza menghentikannya. Aku menatapnya, tetapi ia justru menatap balik padaku. Aku malah memalingkan wajah karena tak mampu melihat matanya. Mata yang justru sangat mirip dengan Enza, mantan kekasihku.

“Thauma, menikahlah denganku”

      Jantungku berdetak tak karuan, suara itu, permintaan itu masih sama seperti tiga tahun lalu. Rasanya pengen bilang “berhenti Eza” tapi itu terasa gak mungkin untuk dikatakan.

      Aku mencoba untuk membuka pintu mobil, padahal itu belum sampai rumah. Tetapi tangan Eza menghentikanku.

“Kalau gak mau jawab enggak apa-apa, tapi biar kuantar kamu sampai rumah. Jangan turun disini” katanya pelan.

      Menurutku bertemu dengannya sama saja seperti bertemu dengan debt collector, selalu saja ada yang ingin dipinta, sudah tau aku gak punya apa-apa. Ini kedua kalinya ia memintaku untuk menikah dengannya, sudah dua kali pula aku memilih diam. Dan sepertinya ia belum mau menyerah.

***

      Suasana rumah beberapa hari terakhir jadi dingin, semenjak aku enggak mengusik pernyataan papa waktu itu. Pernyataan yang sulit untuk diterima apalagi dilakukan, mungkin menghela nafas bukanlah sebuah jawaban buat papa, tapi setidaknya papa bisa ngerti kalau anaknya belum bisa move on.

“Nak, apalagi yang kamu tunggu, pendidikan udah bagus, kerjaan juga, apalagi yang kamu cari? Eza itu anak baik-baik, kerja selalu proffesional, dan dia juga religious. Masih kurang juga? Ayolah Nak.

      Andai papa tahu, Enza masih ada disini Pa, di hati Thauma. Dia segalanya dan sulit untuk digantikan. Rasanya ingin aku berkata seperti itu di hadapan Papa tapi itu semua terasa tidak mungkin.

      Pernyataan papa beberapa waktu lalu memaksa memori otakku untuk menyusun kembali semua kejadian tiga tahun lalu, saat Eza melamarku. Eza? Tidak..bukan Eza. Aku baru ingat, itu Enza bukan Eza. Bulir-bulir air mata mulai jatuh membasahi pipiku, mengingat tentang Enza yang telah dahulu pergi karena paru-para basah yang diidapnya. Enza sangat mirip dengan Eza, ya mereka adalah saudara kembar. Mungkin itulah alasan mengapa aku tak mau memilih Eza meskipun papa yang memintanya, Karena bagiku, memilih Eza sama saja aku hidup dalam bayang-bayang Enza dan mungkin aku tak akan pernah bisa melupakannya seumur hidupku.

***

      Aku menghela nafas panjang ketika papa menyuruhku menjadi MC di sebuah acara “Malam Keakraban” di kantornya, bukan aku tak mau. Tapi karena aku tak mau ketemu Eza dalam waktu yang lama. Seandainya Eza tidak bekerja di kantor yang sama dengan papa mungkin aku akan melakukannya dengan senang hati.

      Acaranya selesai, dan aku dapat bernafas lega. Kusandarkan pundakku pada sebuah sofa berukuran minimalis sambil menghidupkan lagu Mine-Petra Sihombing setelah menyeruput coffe latte kesukaanku.

“Mau coklat?” sebuah suara terdengar berada di sebelahku, ternyata Eza

“Tidak” jawabku singkat

“Mau apel?”

“Tidak” jawabku lagi

“Mau menikah denganku?” tanyanya santai

“Ti…..” belum selesai menyelesaikan kalimat, aku diam.Memutuskan untuk tidak menjawab. Kukeraskan suara music dari handphoneku untuk mencairkan suasana agar aku tak mendengarnya.

Tetapi, ia meraih handphone itu dari tanganku.

“Jawab aku, Thauma”

“Aku tidak bisa” jawabku seraya menenangkan diri, aku harus bisa menolaknya. Bagaimana pun aku mencintai Enza bukan Eza.

“Sampai kapan kau hidup dalam bayang-bayang kakakku?”

“Eza, aku tak mau kau memintaku karena kau merasa harus memenuhi janji kakakmu untuk menjagaku, aku tak mau hidup dalam bayang kakakmu, aku terus merasa bersalah kalau pada akhirnya harus memilihmu bukan dia” aku menjelaskan

“Ingin dengar sesuatu?”

“apa?”

“Jauh sebelum Enza menyukaimu apalagi melamarmu, aku telah lebih dahulu mencintaimu. Saat pertama kali Papamu memintaku untuk mengantarmu ke stasiun kereta api, disaat itulah aku merasa bahwa Tuhan telah menitipkan bidadari untukku. Tetapi, aku tak bisa apa-apa ketika kutahu bahwa kakakku menyukaimu, aku membiarkannya mengambil seluruh yang ingin aku miliki, termasuk kamu”

“Kenapa?” tanyaku pura-pura tidak penasaran

“Karena sakitnya, aku tahu bahwa egois bukan sebuah pilihan pada saat itu, Disaat aku tahu bahwa kakakku tidak akan bertahan hidup lebih lama. Aku menyayangi kakakku sehingga kubiarkan pula ia menyayangi orang yang ingin aku miliki. Semenjak ia pergi, aku merasa kaulah orang yang paling terpukul selain aku, disaat itulah aku berjanji bahwa aku akan membahagiakanmu” jelasnya

Jantungku berdebar, tanganku dingin. Semulia itukah dia? Merelakanku untuk kakaknya? 

“Aku juga telah memintamu lewat papamu, aku meminta anak gadis kesayangannya untuk kupersunting menjadi isteriku, setelah beberapa tahun mengambil hati papamu akhirnya papamu menyetujuinya. Tetapi mungkin aku salah langkah, harusnya aku tanya padamu dulu. Ketika papamu telah menyetujuinya, kau malah menolakku” Eza tersenyum

Memintaku lewat papa, senekat itu kah dia? Pantesan saja papa selalu mengandalkan Eza untuk menjeputku di statsiun, dasar papa.

“Tapi aku tak bisa apa-apa kalau pada akhirnya kau akan menolakku”

“Bukan” jawabku reflex

“Itu artinya, kau menerimaku? Hihihihi” tawanya membuatku tersenyum

Aku diam dan menundukkan kepalaku, lalu meraih handphoneku dari tangannya dan mulai mengeraskan lagi suara music dihandphoneku.

“Mungkin aku harus menunggu sedikit lebih lama lagi” katanya sambil meraih tanganku

Aku tersenyum.”Ya mungkin” jawabku di dalam hati.


Terbit di majalah KUMIS (PERHUMAS MUDA USU) edisi pertama :')




Medan, 14 Oktober 2014.

Komentar

Postingan Populer